Rabu, 19 November 2014

Proses Menuju Hijab Dan Penghalangnya

Untuk membuka hijab lahir, maka seseorang harus membiasakan diri secara istiqamah (kontinyu). Tidak perlu bertele-tele, cukup hanya belajar seperlunya kemudian mempraktekkan langsung baik secara sendirian maupun secara berjamaah. Bila seseorang sudah mengetahui seluk beluk syarat dan rukun dari semua rukun Islam, maka saat itu ia dapat langsung membuka hijab lahir ( id.clozette.com | Trend Setter Hijab Indonesia, Jual Hijab Online Eksklusif Terbaru
 ). Ia akan menemukan ketenangan dengan berkat istiqamah yang telah dilakukan. Berlainan dengan proses pembuka hijab bathin. Tidak ada yang lebih sulit dari perjalanan mencari hakekat kebenaran agama terkecuali membuka hijab bathin. Dan tidak semua orang berkeinginan untuk melakukan dan merasakan hal itu, bahkan ada yang tidak mengerti sama sekali. Selama ini orang-orang hanya memahami hijab bathin hanya sebatas merasakan kenikmatan dari hajab lahir. Bila dengan sholat dan puasa ia telah merasakan ketenangan, maka ia merasakan sudah masuk dimensi bathin. Atau bila seseorang sudah dianugerahi dapat melihat jin atau syetan, ia sudah menganggap masuk ke alam bathin. Padahal semua itu ada;ah ‘semu’ bukan bathin yang sesungguhnya. Bila orang menganggap semua itu dinamakan alam bathin, maka dapat dikategorikan orang ‘dusta’, yaitu orang sadar dalam keadaan tidak sadar. Terbukanya hijab bathin tidak identik dengan melihat jin, syetan atau merasa konsentrasi di saat sholat atau dzikir. Tanda terbukan hijab bathin adalah bila seseorang dapat menikmati kesmepurnaan kenikmatan dari hakekat bathin itu sendiri. Terbuka hijab tahin adalah ternukan dari segala teka-teki tentang hakekat alam diluar dirinya atau di luar alam dzohir. Oleh karena itu, proses untuk mencapai kepada terbukanya hijab bathin seseorang harus mempunyai tingkat keyakinan yang tinggi pada Allah. Orang yang tidak yakin terhadap atau kurang beriman kepada hal-hal yang ghaib, maka sangat mustahil dapat terbukanya hijab bathin. Tahapan untuk menuju terbuka hujab bathin dimulai dengan pemusatan perasaan pada suatu tujuan yaitu Allah. Bila konsentrasi penuh telah dicapai, maka hati akan luluh dan bergetar, akan dan perasaan akan lebur menjadi satu dan lenyap, tapi eksistensi diri masih bisa dirasakan dan dikuasai, sadar bahwa ia sedang menghadap Allah. Begitu hati luluh dan lebur, maka akan muncul penghayatan mendalam. Saat itu seseorang akan berkata: “Oh, inilah yang sesungguhnya kenikmatan yang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata dan sulit untuk digambarkan dalam kenyataan”. Suatu titalitas kesadaran pada alam yang berbeda dengan alam dzohir. Disaat kembali kea lam kesadaran semula, dimana akal sudah berfungsi kembali, ia hanya bisa berucap: “Alam dzohir hanyalah semu semata”.

Penghalang Hijab

Untuk menuju proses terbukanya hijab tidak semudah apa yang dibayangkan oleh para ahli bathin atau ahli syariat. Sebab terbukanya hijab tidak sama dengan gambaran bathin sebagaimana yang diterangkan oleh sementara orang. Seseorang yang sudah terbuka hijab bathinnya, niscaya akan sulit untuk menguraikan dimensi bathin itu sendiri. Oleh karena itu, banyak sekali penghalang untuk dapat masuk ke dimensi bathin itu. Meskipun dalam beberapa kitab tasawuf telah menjelaskan yang ada, belum dapat menyimpulkan sebuah kesimpulan yang sempurna dan memuaskan. Namun bila dicermati secara garis besar, penghalang hijab itu dapat digolongkan menjadi empat macam:

a. Larut dalam Kenikmatan Dunia

Seseorang tidak akan mencapai terbukanya hijab bathin kalau dirinya masih dikuasi oleh segala kenikmatan dunia. Harta, pangkat, kedudukan dan martabat masih menguasai hati sehingga bathin terbungkus oleh hawa nafsu keduniaan. Bagaimana mungkin ia akan berbicara masalah hijab bathin kalau dirinya masih dikuasai oleh hal-hal yang lahir. Ini tidak berarti bahwa seorang yang kebetulan mempunyai pangkat, harta, kedudukan dan martabat tidak dapat mencapai terbuka hijab bathin. Yang dimaksud di sini adalah apabila hantinya tidak dapat menguasai apa yang ada pada dirinya. Atau dengan kata lain harta, pangkat dan kedudukan mengendalikan dirinya, bukan sebaliknya. Karena itu, tergantung pada diri masing-masing. Tergantung pada berharga mana antara harta, pangkat, martabat dan kedudukan dengan jiwa dan qalbunya. Bila menganggap bahwa hanya jauh melebih berharga dari apa yang dimilikinya, maka niscaya ia akan dapat mencapai terbukanya hijab bathin. Satu hal yang terpenting adalah dapat mengendalikan diri dari semua pengaruh yang berdimensi duniawi. Seharusnya berprinsiplah secara arif dengan pemahaman bahwa: “Aku memiliki tetapi tidak merasa memiliki”. “Aku kaya tapi bukan milikku”, “Aku berpangkat hanya sekedar amanah”, “Aku bermartabat tapi diriku masih penuh kekurangan”. Dan sebagainya.

b. Ilusi dan Khayalan

Adalah sangat mustahil seseorang akan berbicara tentang terbukannya bathin kalau dia sendiri masih terpengaruh hawa nafsu dengan ilusi dan khayalan. Banyak orang berlagak sok tahu tentang masalah hijab bathin dengan mengobralkan omongan sudah bisa melihat alam ghaib seperti jin, malaikat dan roh-roh para nabi, ulama atau wali. Obralan omongan seperti itu hanyalah khayalan atau ilusi, dan pertanda ia sedang menderita penyakit bathin. Meskipun apa yang ia lihat itu benar adanya, tapi itu bukan alam bathin sesungguhnya. Itu hanyalah sebuah rerantingan belaka, yang merupakan godaan dari tipu muslihat syetan. Karena itu, seseorang yang benar-benar ingin menikmati alam bathin yang sesungguhnya hendaklah khayalan atau ilusi semacam iyu dibuang, dianggap sebagai selingan bukan tujuan utama dari alam bathin itu sendiri. Perlu diwaspadai, seharusnya berhati-hati dengan orang yang terlalu banyak berkhayal masuk ke alam bathin, karena sering kali apa yang dikhayalkan itu memporak-porandakan keyakinan (tauhid). Ketauhilah: “seseorang yang sudah mencapai ke alam bathin, maka niscaya ia tidak akan membuka apa rahasia dirinya dengan Tuhan”. Jika seseorang membuka dan mengobralkan omongan, maka pertanda yang dialaminya itu adalah palsu, bukan alam bathin yang sesungguhnya.

c. Dominasi Akal

Disamping ilusi dan khayalan, dominiasi akal yang berlebihan juga menjadi penghalang terbukanya hijab bathin. Akal memang merupakan rahmat dari Allah s.w.t., tetapi wilayah kerja akal hanya terbatas pada obyek lahir, yaitu hal-hal yang nampak yang terdapat di alam nyata. Akal tidak mungkin dapat menjangkau alam bathin. Jika ada kaum rasional membicarakan alam bathin atau tasawuf, maka itu pelacuran terhadap akal sendiri. Jika ia mencoba untuk menerangkan tentang perilaku orang ahli bathin, maka ia dholim terhadap akalnya sendiri. Maka bagi orang yang ingin menuju terbukanya hijab bathin, upayakan agar akal dihentikan, fungsikan jiwa, perasaan atau hati semaksimal mungkin. Bila jiwa, perasaan atau hati telah mendominasi akal, maka jiwa dan perasaan tadi akan mengiring terbukan hijab bathin.

d. Maksiat Lahir dan Maksiat Bathin

Segala maksiat lahir seperti ingkat menjalankan sholat, puasa, zakat atau melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah s.w.t., maka menjadi penghalang untuk terbukanya hijab bathin. Seseorang yang akan terjun menekuni alam bathin, maka ia diharuskan terlebih dahulu melakukan perintah-perintah lahir sehingga memperoleh keyakinan, sebab jika tidak, justru akan mengurangi kadar iman dan bahkan akan mengarah ke jalan kemusyrikan. Jadi, yang terpenting jalankan perintah lahir atau upayakan jangan berbuat maksiat. Disamping maksiat lahir, juga tidak melakukan maksiat bathin. Sebab maksiat bathin membuat hati seseorang menjadi beku dan kotor. Kotornya hati jauh lebih berbahaya dari kotornya jasad tubuh. Sebab kotornya hati bersifat tersembunyi yang sulit diketahui oleh penderintanya. Sombong, riya’, kufur, nifaq, dengki, dendam, buruk sangka dan sebagainya adalah maksiat bathin yang harus dibersihkan dari perasaan danhati. Selama seseorang masih memiliki sifat-sifat seperti itu, maka selama itu pula ia tidak akan mencapai terbukanya hijab bathin.

Kamis, 13 November 2014

Terrible Ways To Propose

Rule 1: Don't propose in a restaurant, fast food or otherwise.

We know what you're thinking ("But we met at TGI Fridays!"). That's too bad. A restaurant means there's an audience. A restaurant means there's the potential for a lot of embarassment should tears (of either joy or rejection) arise. Also, it's totally unromantic to have to sit at the table waiting for the check to show up after being asked the most important question of one's romantic life. Cooking For Two

Rule 2: Don't propose in front of friends and family.

It's bad enough being proposed to in a public place. But the pressure (and lack of romance) is even worse to  be ways to propose when you're surrounded by friends and family. What if you two really want to get it on after the question is popped? What if the friends or family jump in when you don't want them to? What if the answer is really: "No, I don't want to marry you"?

Rule 3: Don't put the ring in your beloved's food.

First, because food is sticky, gooey, and oftentimes greasy. Second, because human waste is sticky, gooey, and oftentimes greasy. And when a ring get swallowed, it usually ends up sticky, gooey, and greasy in both ways.

Rule 4: Don't propose in a dangerous place.

Recently, a man in Maryland proposed to his girlfriend on the rough and rocky Billy Goat Trail, near Great Falls national park. Not long afterwards, she fell off the side of a rock face and had to be rescued by a U.S. Park Police helicopter. Obviously, this was a bad ways to propose. First, becausethis ways to propose can make a person shaky and excited and less agile. Second, because if your beloved says "no" to your proposal and then falls off a cliff, you might look like a suspect should any injuries arise.

Rule 5: Don't propose on television.

This includes those giant screens at baseball games, tapings of the Tyra Banks Show, community access television, and videos that you plan to upload to YouTube. Seriously, if you think the restaurant proposal comes with a lot of potential headaches, just wait for thousands of people in a stadium to turn the pressure on. 7 Things Jon & Kate Can Teach Us About Love

Rule 6: Don't propose with a ring that you once proposed to someone else with.

Sure, that last person didn't work out, and sure, you hate for a perfectly good ring to go to waste. But, really, this is just tacky.

Rule 7: Don't mix sex and proposals.

First, cliche. Second, do you really mean it, or is it just the good sex? Your fiance may never know.